Wednesday, January 30, 2008

Pertemuan Fungsionaris Proyek GLH-CM 2008-2010

Teman-teman CM yang baik…


Setelah sekitar 5 bulan kita persiapkan, termasuk mempersiapkan kesiagaan lembaga-lembaga donor yang akan berparisipasi mendukung, terhitung sejak tanggal 1 Desember 2007, Ciliwung Merdeka, kita semua secara bersama-sama akan segera mengawali kerja keras untuk sebuah proyek yang baru dan besar, yaitu Proyek GERAKAN LINGKUNGAN HIDUP BERBASIS KOMUNITAS DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI DI RT 05, 06, 07, 08 RW 12 DAN RT 10 RW 03 KAMPUNG PULO, PERIODE 2008-2010 (GLH-CM 2008-2010), dengan 5 program yang saling berkaitan, melengkapi dan menunjang satu sama lain yaitu:

1. Program Pengolahan Sampah dan Lingkungan Hijau.

2. Program Rumah Sehat Ciliwung Merdeka

3. Program Posyandu: Peningkatan Gizi

4. Program Air Bersih

5. Program Pendidikan Lingkungan Hidup.

Perubahan Paradikma

Jelas untuk dapat mengerjakan tantangan kerja sebesar ini, kita bersama komunitas warga Bukit Duri dan Kampung Pulo, tidak hanya membutuhkan semangat baru, tapi juga perubahan paradigma, bahkan perubahan bentuk dan sifat kegiatan serta pendekatan baru yang cukup berbeda dengan yang sudah kita lakukan selama ini di Bukit Duri sekitar 7 tahun lebih.

Bagaimanapun juga, setelah perjalanan pendampingan, berproses selama 7 tahun lebih CM di Bukit Duri, akhirnya kita menjumpai wajah komunitas warga Bukit Duri sebagai komunitas warga yang cukup dikenal oleh masyarakat di sekitarnya, bahkan masyarakat di Jakarta. Komunitas warga Bukit Duri pada umumnya kini nampak cukup terbuka, komunikatif, partisipatif, terutama pada masa-masa tanggap daruratnya mampu mengekspresikan kekompakan dan spontanitas solidaritasnya yang tinggi, setidaknya bila dibandingkan dengan komunitas-komunitas warga di kampung-kampung sekitarnya. Setidaknya para peneliti yang pernah mempelajari masalah sosial-ekonomi komunitas sektor informal di Bukit Duri, termasuk meneliti masalah air, juga berdasarkan kesan para wartawan yang pernah live-in di Bukit Duri termasuk di kantong-kantong kaum miskin urban di Jabodetabek lainnya, komunitas Bukit Duri termasuk komunitas yang dianggap sudah cukup terorganisir dan terbuka, mau belajar, berkembang.

Namun juga merupakan sebuah fakta yang tak dapat kita ingkari, bahwa selama ini kerja kita di Bukit Duri ternyata cenderung lebih banyak bersifat tanggap-darurat (banjir, kebakaran, ancaman penggusuran di Bukit Duri sendiri, termasuk memberikan bantuan darurat kemanusiaan korban banjir dan tanah longsor di Sukabumi, korban konflik etnis dari Sampit Kalimantan Timur yang terpaksa hijrah pulang Madura, korban gempa-tsunami di Aceh, atau korban banjir dan tanah longsor di Jember) dan eventual (terlibat dalam peringatan atau perayaan seperti 17 Agustusan, Pesta/Pasar Rakyat, Buka Puasa Bersama, atau tim musik/teater anak-anak berpartisipasi manggung di berbagai tempat, kesempatan dan acara, atau yang cukup besar adalah komunitas kerja CM dan anak-anak terlibat aktif dalam penyelenggaraan Festival Budaya Anak pinggiran Jabodetabek).

Kalau toh kita mendampingi aktivitas-aktivitas yang bersifat rutin, berjangka-panjang dan sustainable (berkesinambungan) seperti pendampingan kelompok belajar anak-anak dan remaja (Divisi Arena Pendidikan Budaya CM), kegiatan pelayanan kesehatan (Divisi Swadaya Kesehatan/Mobile Clinic CM) dan kegiatan ekonomi (Divisi Ekonomi CM) dan Koperasi Swadaya Ibu-ibu Ciliwung (Divisi Koperasi CM), termasuk kegiatan pengorganisasian dan jaringan seperti pendampingan pertemuan-pertemuan/forum-forum warga, atau pendampingan PAWANG (Divisi Pengorganisasian dan Jaringan CM), pada umumnya kegiatan-kegiatan itu berjalan tersendat-sendat, kurang darah bahkan sering macet dan kehilangan arah di jalan. Mengapa?

Sebagai komunitas kerja, dalam beberapa tahun terakhir ini, kita juga cenderung gampang salah komunikasi ( miss-communication). Kerja kita masih cenderung gampang fragmented (terpecah), karena kurang fokus, terlalu mudah berubah arah, terlalu banyak yang mau kita kerjakan (terlalu ambisius), kurang tekun/konsisten dalam proses pendampingan. Selama ini kita masih cenderung terlalu cair dan hanyut dalam mengikuti proses-proses sosial-ekonomi alamiah, survival system dalam masyarakat Bukit Duri yang kita dampingi. Kita kurang taat asas dan disiplin dalam mengikuti sistem yang sudah kita sepakati bersama. Kita cenderung terlalu lambat dalam mengikuri irama hidup warga yang de facto penuh ketidakpastian, kegamangan dan keterceraian (fragmentation) bahkan keterancaman karena ketiadaan perlindungan dan akses sosial, politik, ekonomi dan budaya terutama dari pihak pemerintah. Kita kurang berani mengajak warga bekerja dengan sistem program, bahkan sistem target. Kita kurang kreatif dalam membuat program-program konkret yang relevan berhubungan langsung dengan perikehidupan komunitas warga miskin urban Bukit Duri khususnya dan Jabodetabek pada umumnya, yang bersifat jangka panjang, berkesinambungan, dengan pendekatan yang komprehensif dan jelas dapat memberikan solusi alternatif bagi situasi kemiskinan, ketidakpastian, ketidakadilan dan keterasingan anak-anak, remaja serta warga Bukit Duri dan sekitarnya dari akses dari sumber-sumber daya secara sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Solusi: Proyek Gerakan Lingkungan Hidup – Ciliwung Merdeka

Persoalan lingkungan hidup merupakan persoalan yang bersifat sistemik, kompleks, serta memiliki cakupan yang luas. Oleh sebab itu, materi atau isu yang diangkat dalam penyelenggaraan gerakan lingkungan hidup juga sangat beragam. Sesuai dengan kesepakatan nasional tentang Pembangunan Berkelanjutan yang ditetapkan dalam Indonesian Summit on Sustainable Development (ISSD) di Yogyakarta pada tanggal 21 Januari 2004, telah ditetapkan 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketiga pilar tersebut merupakan satu kesatuan yang bersifat saling ketergantungan dan saling memperkuat. Adapun inti dari masing-masing pilar adalah:

1. Pilar Ekonomi: menekankan pada perubahan sistem ekonomi agar semakin ramah terhadap lingkungan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Isu atau materi yang berkaitan adalah:

a. Pola konsumsi dan produksi

b. Teknologi bersih

c. Pendanaan/pembiayaan

d. Kemitraan usaha

e. Pertanian

f. Kehutanan

g. Perikanan

h. Pertambangan

i. Industri

j. Perdagangan

2. Pilar Sosial : menekankan pada upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Isu atau materi yang berkaitan adalah:

a. Kemiskinan

b. Kesehatan

c. Pendidikan

d. Kearifan/Budaya Lokal

e. Masyarakat Desa

f. Masyarakat Perkotaan

g. Masayrakat Terasing/Terpencil

h. Kepemerintahan/Kelembagaan yang Baik

i. Hukum dan Pengawasan

3. Pilar Lingkungan : menekankan pada pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan. Isu atau materi yang berkaitan adalah:

a. Pengelolaan sumberdaya air

b. Pengelolaan sumberdaya lahan

c. Pengelolaan sumberdaya udara

d. Pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir

e. Energi dan sumberdaya mineral

f. Konservasi satwa/tumbuhan langka

g. Keanekaragaman hayati

h. Penataan ruang

Menyaksikan, memahami dan menyadari betapa komunitas miskin urban perkotaan warga Bukit Duri dan Kampung Pulo yang de facto sangat terbatas dalam pola konsumsi dan produksi, teknologi bersih (masalah sampah), swadaya kesehatan, sumberdaya lahan (penataan ruang), suberdaya air (bersih). Juga menyadari fakta sangat sedikit atau bahkan tiadanya tumbuhan/tanaman (lingkungan hijau), udara bersih dan sangat terbatasnya pendanaan/pembiayaan serta kurang/tiadanya jaminan perlindungan (hukum) dan bantuan fasilitasi dari pihak Pemprov DKI Jakarta, dan menyadari potensi kearifan lokal serta survival system warga Bukit Duri dan Kampung Pulo selama beberapa tahun terakhir, terutama dengan tumbuhnya kesadaran kritis (pendidikan) dan sikap solidaritas terutama di kalangan anak-anak, remaja dan kaum muda dan kaum perempuannya, setelah melakukan assasment (penyelidikan awal) yang sangat dibutuhkan dalam mengawali sebuah proyek kemanusiaan, serta melakukan persiapan-persiapan seperlunya, setelah menerima masukan dan pertimbangan dari berbagai macam pihak yang kompeten, saya berikhtiar mengusulkan kepada komunitas kerja CM dan warga Bukit Duri serta Kampung Pulo, untuk menyelenggarakan proyek GLH-CM 2008-2010, sebagai solusi alternatif, yang menurut hemat saya paling konkret, relevan, efektif, dan komprehensif.

Sistem Kerja Profesional

Untuk mewujudkan agar tujuan proyek Gerakan Lingkungan Hidup Ciliwung Merdeka 2008-2010 (GLH-CM 2008-2010) kita semua harus lebih sadar dan disiplin dalam menggunakan sebuah satuan sistem kerja yang professional. Maka selain pemahaman akan substansi, relevansi dan perkembangan masalah lingkungan hidup itu sendiri, juga tak kalah penting adalah pemahaman dan pengalaman akan konteks sosial komunitas-komunitas warga di Bukit Duri dan Kampung Pulo sejauh sudah dan sedang kita kenal dan libati selama ini.

Sistem kerja professional secara sederhana pada umumnya dapat kita mengerti sebagai ikhtiar pendayagunaan struktur organisasi, planning (perencanaan), programming (penyusunan dan revisi program), budgeting (penyusunan anggaran), pengaturan personalia, sistem kontrol (monitoring, reporting, pengaturan irama gerakan, sistem evaluasi dan pertanggungjawaban di dalam kerja bersama kita. Kita semua harus mampu menjamin bahwa pola kerja yang kita pilih secara sadar untuk mengerjakan proyek GLH-CM 2008-2010 ini sungguh lebih sistemik, efektif, konsisten, sinergis, otonom, transparan, sustainable (berkesinambungan) dan berjangka panjang.

Sudah pasti untuk dapat mengerjakan proyek besar ini CM harus lebih mempunyai indikator dan tolok ukur obyektif yang sahih untuk menilai mutu gerakan kerja kemanusiaan kita. Kita perlu kepastian, bagaimana para koordinator dapat lebih tekun hadir untuk melakukan monitoring, facilitating, controlling dan supporting terhadap para anggota bidang kerja/programnya, terutama pada saat dan kesempatan kerja-kerja lapangan, rapat-rapat, komunikasi informal dan kerja jaringan. Tolok ukur pengorganisasian bidang personalia yang dapat kita gunakan adalah: equality, participation, accountability, otonomi atau desentralisasi dan swadaya. Begitupun budaya "check, re-check and balance system" harus kita gunakan untuk mengantisipasi segala kemungkinan akan terjadinya penumpukan beban, ketidakseimbangan, kegamangan, ketidakjelasan, inkonsistensi, kecairan, labilitas, dan lost-structure, macetnya komunikasi serta kemungkinan macetnya proses on-going formation (pembelajaran/pendidikan terus menerus) dari para anggota/tim kerja kita.


Jakarta, 24 November 2007

Salam,


I.Sandyawan Sumardi

No comments: