Friday, July 20, 2007

Pekikan Hak "Anak-anak Pinggiran"

oleh : F. Budi Hardiman - pengajar Pasca Sarjana STF Driyarkara

Mereka ada diantara kita. Raut wajah mereka tampak di persimpangan, di pabrik, di dalam angkutan umum, di perkebunan, di dekat timbunan sampah. Kita melihat mereka, mengeluhkan keberadaan mereka, merasa kasihan, namun tak seorang pun mendengarkan mereka. Jumlah mereka banyak, dan bersamaan dengan laju pertambahan gedung, mal, ITC, real-estate, dst dalam metropolis Jakarta ini, jumlah mereka juga bertambah. Menjadi banyak berarti menjadi rutin juga, maka modus melihat seperti melihat lalat, yakni melihat serentak mengabaikan, yang mereka terima merupakan cermin bagaimana mereka ditempatkan dalam masyarakat. Mereka sadar itu, maka mereka menyebut diri "anak pinggiran". Sebagian adalah anak-anak jalanan, pengamen, joki three-in-one, pemulung cilik, pengasong dalam usia antara 5-17 tahun. Sebagian lain bekerja sebagai buruh pabrik. Di dalam perjuangan survival of the fittest di belantara ekonomi metropolis Jakarta, mereka adalah korban. Dan wajah korban itu makin jelas manakala placelessness mereka dipentaskan dalam kebijakan penggusuran, pembakaran dan penelantaran pemukiman-pemukiman mereka.

Eksistensi sosial mereka dijelaskan oleh Georg Simmel sebagai fenomena ruang; Mereka itu dekat dengan kita, namun kedekatan itu berarti juga suatu kejauhan, sebab keberlainan mereka berarti bahwa yang jauh itu dekat juga. Mereka tidak sungguh-sungguh diluar kita, seperti misalnya makhluk dari bintang Sirius, sebab mereka adalah salah satu dari kita, pemukim metropolis ini. Namun pertarungan a la Darwinisme ekonomis yang melanda metropolis ini membuat mereka tidak sungguh-sungguh di dalam kita. Para pemenang telah mengeksklusikan mereka dari kelompok. Pertama, mereka adalah anak-anak, dan anak-anak dipandang tidak berhak bersuara dalam masyarakat orang dewasa. Kedua, mereka melarat, dan yang melarat ini juga dianggap tidak memiliki andil dalam masyarakat. Posisi di luar sekaligus di dalam itulah yang secara spasial diungkapkan dalam istilah "pinggiran".

Cermin Krisis Solidaritas
Berada di pinggiran tidak hanya berarti berada dalam keterbatasan, seperti terungkap dalam kata 'miskin', melainkan juga berarti menjadi batas cakrawala masyarakat itu sendiri, sebab seperti dipikirkan dalam teori sistem Niklas Luhmann- yang berada di pinggiran itulah yang memungkinkan perbedaan antara masyarakat dan bukan-masyarakat. Eksistensi sosial mereka adalah identity maker sebuah masyarakat, seperti sebuah garis yang memberi bentuk, maka perlakuan atau pengabaian terhadap mereka merupakan cermin taraf keadaban masyarakat tempat mereka dipinggirkan. Kota-kota yang menyambut mereka sebagai bagian dari masyarakat telah berhasil pula mengatasi problem integrasi sosialnya, sebab anak-anak pinggiran adalah bagian naratif yang paling kelam dari identitas kota yang retak oleh pertarungan kepentinga. Ideologi-ideologi memakai kondisi mereka sebagai bahan demagogi. Pragmatisme pasar tak menghitung kegunaan mereka.Dapat dikatakan bahwa keterlantaran mereka adalah cermin krisis solidaritas dan sivilitas kota. Sebagaimana keretakan sebuah keluarga ditandai dengan keterlantaran anak-anaknya, sebuah manajemen kota yang gagal untuk memobilisasi sikap-sikap dan tindakan-tindakan beradab warganya tercermin juga dalam marginalisasi segmen yang paling lemah dan tak terlindung di dalam kota itu, yakni anak-anak miskin yang menjadi korban kekerasan kota dan keluarga mereka. Pasar, birokrasi dan budaya metropolis tanpa ampun telah melibas anak-anak ini dan merampas hak-hak mereka sebagai anak. Kilasan wajah cilik di jalan, di pabrik, di gundukan sampah itu enggan kita tatap karena tatapan kita akan segera berbalik menjadi gugatan atas sikap apatis kita, apatisme yang telah lama sekali dilegitimasikan lewat sebuah stigmatisasi atas mereka sebagai parasit-parasit kota. Jika yang terstigma ini 'korban', siapa atau apakah 'pelaku'nya ? Rentetan jawaban diberikan: negara, pasar, masyarakat, struktur, keluarga...ad infinitum sampai kita tak menemukan apa-apa dan siapa-siapa. Akan tetapi anak-anak yang dunia bermainnya telah terampas dan terdesak memikul tanggungjawab hidup itu tidak menyerah sebagai korban. Mereka bangkit menolong diri mereka sendiri. Ketika datang menengok Festival Budaya Anak Pinggiran Merdeka se-Jabodetabek 13-15 Juli 2007 yang lalu, orang akan terkesima. Anak-anak ini tidak memohon belas kasihan orang-orang dewasa. Anak-anak ini jauh dari kecengengan dan kemanjaan seperti yang lazim kita jumpai dalam keluarga-keluarga 'borjuis kota'. Mereka menuntut hak-hak mereka yang telah diabaikan tanpa malu oleh orang-orang dewasa. Mereka bernarasi tentang bagaimana mereka menolong diri untuk melawan keterbatasan mereka sendiri. Kepakan rajawali yang terluka memang tidak tinggi, namun tetap lebih gagah daripada kepakan ayam sehat, karena rajawali menurut kodratnya enggan melekat di atas tanah.

Segmen Lemah Ruang Publik
"Setiap anak," begitu kata Undang-undang Perlindungan Anak, 'berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi". Bunyi undang-undang yang dirancang orang dewasa itu menghibur mereka. Realisasi hak-hak yang tercantum didalamnya mereka tuntut. Suara kanak-kanak merka tak mampu menyembunyikan ketegasanh ati mereka. Satu hal mereka tahu: Mereka adalah korban, karena orang-orang dewasa yang ikut mengendalikan pasar, negara, masyarakat, struktur, keluarga...ad infinitum itu mengabaikan hak-hak mereka. Dan hak bukanlah suatu pemberian atau efek belas kasihan orang lain, melainkan sesuatu yang dapat dituntutkan kepada orang lain. Karena itu mereka tidak mengemis hak; mereka menuntut. Dan karena dalam setiap hak itu melekat kewajiban pihak yang dituntut, si penuntut, yakni anak-anak ini, berhak untuk mendapatkan respek dari orang lain dalam tuntutan mereka.Berbicara hak seperti dilakukan anak-anak pinggiran ini tak lain daripada suatu tuntutan untuk bernegosiasi tentang nasib mereka. Namun mereka tak punya wakil di parlemen, tak memiliki wadah ekspresi di ruang publik dan keluarga mereka yang hancur oleh cekikan ekonomi sudah lama tidak mau memahami mereka. Anak-anak pinggiran, seperti juga kaum minoritas, para penyandang cacat, kaum manula, dst...adalah segmen paling lemah dalam ruang publik negara hukum. Status kanak-kanak dan stigma kemiskinan yang menjadi emblem mereka menyulitkan mereka bernegosiasi dengan orang-orang dewasa di dalam pemerintahan yang terlalu digundahkan oleh masalah-masalah kekuasaan dan saku mereka sendiri.Jika politik tidak dimengerti secara Machiavellian sebagai manipulasi strategis, melainkan secara Aristotelian sebagai penggalangan civic friendship, apa yang dilakukan anak-anak pinggiran dihadapan patung proklamator RI itu adalah 'politik' dalam artinya yang otentik. Komunitas pemberdayaan sebagaimana dipraktikkan oleh Gerakan Ciliwung Merdeka binaan Sandyawan Sumardi itu merupakan salah satu cara bagaimana menggugah kesadaran civil society pada segmennya yang paling fundamental. Lebih dari 2000 anak dari 39 komunitas berhimpun mewakili ribuan lainnya yang terserak di jalan-jalan di berbagai kota besar yang menjadi korban gilasan pasar, birokrasi dan kekerasan orang-orang dewasa. Mereka tidak bungkam. Mereka memekikkan hak-hak mereka dan bernarasi tentang pengalaman-pengalaman negatif mereka lewat tuturan, lukisan, pertunjukan. Itu sudah cukup nyaring untuk ruang publik politis, seandainya negara hukum berfungsi baik.

Wednesday, July 18, 2007

MENGHARGAI PERJUANGAN ANAK PINGGIRAN

oleh : I. Sandyawan Sumardi

Ekspresi Perjuangan Anak Pinggiran
Anak-anak pinggiran diperhatikan, dihargai, diberi wahana untuk berekspresi dalam Festival Budaya dan Temu Rasa Anak Pinggiran JABODETABEK (FBAP 2007) tanggal 13-15 Juli 2007 di Taman Tugu Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat. Karena anak-anak itu telah bekerja, mandiri, kreatif, punya sifat kepemimpinan, dan telah menjadi korban struktur sosial-politik yang tidak adil, hak-hak asasinya dicerabut, namun tak patah juga, bahkan terus berjuang dengan sikap solidaritas dan pembelaannya yang ikhlas untuk teman-teman senasib, keluarga atau lingkungannya. Dari satu sisi kisah hidup anak-anak pinggiran sebenarnya tak teramat istimewa. Kecuali bahwa anak-anak ini rasanya semakin dekat memburu sanubari kita. Namun justru melalui FBAP 2007 ini, anak-anak pinggiran sepertinya tengah menggali tanpa ampun dunia batin dan jati diri kemanusiaan mereka sendiri. Dalam tuturan yang sederhana mereka melalui “Ekspresi Perjuangan Anak Pinggiran Melawan Keterbatasan”, kita jumpai problem manusia individualis, anak-anak kaum urban korban-korban kapitalisme dan paham modern tentang survival system. Dalam kisah ini cukup kuat direkam dan dilukiskan deformasi jiwa manusia kota, baik dalam psike individual, maupun dalam lembaga-lembaga keluarga, masyarakat, negara yang serba gundah dan terpecah. Anak-anak pinggiran adalah para pemberontak melawan deformasi jiwa yang membuat manusia mejadi hewan-hewan buas yang dilahirkan oleh sistem kebudayaan kota.
Dengan pertanyaan-pertanyaan berantai, kisah hidup anak pinggiran seakan mendakwa jiwa kita: siapa yang ternyata cukup mampu menjaga harga diri tak tunduk mengaduh runtuh? Siapa yang menjawab secara benar terhadap tuntutan-tuntutan saat nyata dan mendesak? Siapa berhasil menjaga keutuhan jiwa dalam kemelut peristiwa-peristiwa tragis? Dalam manusia-manusia macam manakah ternyata masih bertahan substansi manusia sejati? Dan manusia mana yang ternyata tidak hancur dan tetap tahan uji moralitas kemanusiaannya?
Anak-anak pinggiran dan teman-teman senasib seperjuangannya adalah bunga-bunga liar, serpihan-serpihan kusam kusuma bangsa yang tumbuh di dataran keras kehidupan urban. Tak pelak, kumpulan kisah-kisah perjuangan hidup mereka merupakan tradisi kecil, yang hampir dapat dikatakan sebagai hidden transcript (catatan terselubung). Demikian kalau sampai mereka mengekpresikan pengalaman yang tak terkatakan ini, pada dasarnya mereka tengah menggambarkan dan terkadang sekaligus melambangkan kritik-kritik halus dan nyaris tersembunyi mengenai kekuasaan, yang hanya dilontarkan atau diterjemahkan secara diam-diam ke dalam perbuatan, atau dalam alam pribadi. Kaum yang terlindas oleh kekuasaan (baca: para penentang kekuasaan) ini, cenderung menciptakan dengan sendirinya suatu wacana samar yang lokasinya, baik secara ideologis maupun geografis, jauh dari arena percaturan politik utama, dari jangkauan atau pengawasan yang berkuasa.

Mungkin ekspresi hidup mereka sehari-hari mereka adalah catatan-catatan kecil. Catatan kecil tak beraturan yang memang merupakan sebuah “nyanyi sunyi” tradisi kecil anak-anak pinggiran yang mencoba untuk bertahan, melawan dan sesekali mendobrak hubungan-hubungan subordinasi yang mengungkungnya. Perjuangan mereka adalah perjuangan manusia yang menciptakan ruang gerak sosial, merakit ideologi-ideologi alternatif, mengembangkan suatu sub-budaya ketidaksepakatan, menggalang solidaritas teman senasib-seperjuangan, dan mengasah teknik serta bentuk-bentuk perlawanan tidak langsung. Seluruh ekspresi perjuangan anak pinggiran dalam FBAP Jabodetabek 2007 ini pada dasarnya merupakan kesaksian tentang anak-anak rakyat kaum miskin urban, yang bertempur dalam iman manusia lemah tetapi jaya, yang tak pernah patah dan hancur nilai kemanusiaannya di tengah amukan massa zaman kejam serta penderitaan yang tak pernah usai, bagai badai salju di tundra-tundra Siberia. Terlampau pagi menyebut mereka pemberontak, terlalu dini usia mereka untuk mendobrak. Namun toh justru dalam situasi batas daya kemampuannya, dalam perjuangan mereka yang suntuk, bahkan di ujung ajalnya, mereka merasa perlu menggoreskan pesan, kendati dengan keringat, debu dan darah.. Segalanya telah dihimpun dan dipertaruhkan, segalanya telah dicurahkan dan diikhlaskan. Memang mereka seperti kalah, meradang, luka bahkan mati, namun kini mereka tidak lagi membisu. Mereka telah berteriak sunyi, tentang kemerdekaan yang demikian mereka rindu-rindukan. Dengan itu pula kasus mereka menjadi kasus kepahlawanan modern, justru dalam keterbatasannya menghadapi nasib itu. Keterbatasan di dalam titik tawakal. Sebab hidup kita, ternyata terbuat dari kematian orang-orang lain yang tidak membisu. Namun adakah pengalaman mereka dapat jadi jarum-jarum kecil penunjuk kemana arah pembangunan bangsa ini tengah digelandang-paksakan oleh para pemegang tampuk kekuasaan?


Cermin Retak Paradoks Zaman
Kisah Anak Pinggiran adalah sebuah cermin retak tentang sebuah paradoks zaman: di satu pihak ada kesewenang-wenangan yang brutal, kejam dan telanjang tanpa malu, di lain pihak kita masih dapat mendengar kesaksian-kesaksian otentik, betapa relatif dan fananya segala ideologi di hadapan inti dan esensi proses sejarah yang mengatasi kekerasan sebuah sistem politik. Inilah momentum untuk belajar, memperluas cakrawala pergulatan batin manusia, serta memperdalam pemaknaan sejarah manusia. Sejarah yang bukan sejarah institusional, yang de facto lebih ditentukan oleh kaum pemenang; kaum yang biasanya cenderung didukung atau mendukung ideologi, kebijakan atau pemerintahan resmi. Sejarah dalam Kisah Anak Pinggiran ini senantiasa mengisyaratkan sebuah perspektif yang berikhtiar untuk melakukan pelacakan kembali peristiwa-peristiwa “tradisi kecil” pada dataran hidup massa kebanyakan; yang membuat kita tidak mudah merayakan apa yang sering kita sebut peradaban sebagai lompatan-lompatan linear yang penuh keniscayaan, serba mutlak, tak bisa dipertanyakan lagi. Justru karena yang berada di atas timbangan adalah individu-individu atau massa yang berada di pinggiran lingkaran kekuasaan. Dan setiap kali kita membongkar apa yang cenderung dikubur oleh sejarah institusional, kita pasti akan berjumpa dengan nokhtah-nokhtah pengalaman dari mereka yang sering dianggap sebagai “kaum yang kalah”. Inilah sejarah sungai-sungai proses kesadaran dan pengolahan puncak-puncak atau jurang-jurang eksistensi manusia, baik dalam kekelaman derita maupun dalam bunga-bunga liar mekar bahagia dalam genangan rawa-rawa kehidupan nyata.


Sikap manusia yang meskipun sadar bakal digempur terus menerus, namun toh tetap berlenggang juang terus teguh dalam pergulatannya, pada hakikatnya adalah sikap religius. Bukankah kita tetap menyaksikan Paris, Tarini, Wawan, Yadi, Dodi dan Siti tetap menerawang pada awan-awan harapan di gerbang kehidupan mereka? Mereka tetap melihat pijar cahaya akhir, yang walau pun teramat jauh, membuat jiwa mereka tetap bertekad untuk hidup terus, merebut kehidupan sejati. Dan harapan sejenis ini, yang terekam dari teriakan panjang yang berpendar-pendar jauh merasuki relung-relung sukma sesamanya, ternyata hanya dapat disendikan pada dasar kepercayaan, bahwa memang benar-benar ada suatu Kebenaran Terakhir, suatu Keadilan Terakhir. Sehingga seluruh perjuangan itu toh punya makna. Nilai korban demikian tinggi. Kehendak untuk terus bertahan hidup dan berharap, meski kegelapan di sekeliling seolah tak memberi nafas harapan, adalah esensi dari sikap religius sejati. Sebab yang dituju religiositas sejati bukan dunia kaum pemimpi, bukan fatamorgana kosong, dan bukan rasionalitas belaka, melainkan benar-benar realitas nyata.
Ekspresi perjuangan anak pinggiran adalah kisah kaum kecil. Kaum yang dengan keyakinan tipis, menyerukan protes untuk didengarkan oleh kaum dewasa dan berkuasa. Dan karena itu jeritan protesnya bagai hewan terluka, mengaum sampai di ujung kematian. Semangat mereka adalah semangat melawan stigma, nujum dan nasib, meskipun ternyata kalah. Mereka kalah, oleh apa yang oleh orang Yunani disebut dike, rancangan takdir. Memang orang kecil adalah orang, yang pada akhirnya, terlalu sering kalah. Adakah karena adagium hukum alam itu kini tengah berlaku kembali, sebagaimana pernah dibisikkan Jean Paul Sartre (1905-1980), eksistensialis Prancis itu: “When the rich wage war it is the poor who die” (Apabila yang kaya mengobarkan perang, maka yang bakal mati adalah kaum miskin.)?


Religiositas Anak-anak Pinggiran
Kisah Anak Pinggiran akan membuat kita terjaga, betapa sejarah dunia senantiasa digenangi oleh berbagai inti perkara-perkara kemanusiaan: masyarakat terdiri dari tuan-tuan dan budak-budak. Namun juga berbagai macam sistem ideologi praktis, seperti kapitalisme yang mereka alami ternyata bukan penyelesaian yang pantas dirayakan, sebab di situpun skandal kuno kembali terulang: tuan-tuan menginjak-injak budak-budak. Tidak hanya dalam negara, tapi juga nyaris dalam seluruh dimensi kehidupan, ada benang merah sikap dan struktur tuan-budak itu. Sejak lahir dari kandungan dalam lingkungan keluarga, mereka telah diajari untuk tunduk, taat buta tanpa tawar-menawar. Namun dalam kenyataannya, otoritas lingkungan mereka tak pernah membuat mereka dewasa. Yang diciptakan adalah suasana ketakutan. Ketakutan pada otoritas kekuasaan adalah ketakutan yang purba, rasa ngeri dari sebuah zaman “pra-budaya”. Bisa jadi akarnya berupa sebuah trauma yang tersembunyi jauh dalam kesadaran kolektif kita: masa penjajahan. Sejarah tuan dan hamba, yang selama berabad-abad berlangsung gaduh di negeri ini, seperti halnya dialami beberapa negeri lain di Asia Tenggara lainnya.
Penderitaan manusia adalah ombak yang tak bisa dielakkan dalam sejarah sebuah bangsa. Dan anak-anak pun akhirnya bakal mengerti: bahwa di atas sana ada mesin yang ingin membersihkan manusia dan jagad raya, menjadi “murni”. Bahwa yang mustahil telah dipaksakan, dan yang mustahil pun telah melahirkan yang buas, sewenang-wenang. Nampaknya persoalannya sederhana: bagaimana kekuasaan yang lahir dari uang dan bedil, bisa tunduk kepada sesuatu yang tak beruang dan berbedil. Tapi bukanlah yang demikian ini hanyalah sebuah masalah klasik? Klasik, tapi terus mengusik.
Demikianlah, dalam tataran religiositas, nampaklah seluruh hidup mereka dibayangi oleh rasa takut pada neraka, kepada hukuman Tuhan, yang tidak memungkinkan mereka menjadi manusia yang sadar yang bertanggungjawab atas sikap dan perilakunya sendiri. Oleh otoritas yang berkuasa, Tuhan telah dijadikan semacam tambal-sulam untuk menutup lubang-lubang kesulitan yang tak dapat dibereskan sendiri oleh manusia. Seakan Tuhan dijadikan tukang sulap pembuat mukjizat, untuk membereskan kerepotan-kerepotan yang dibuat oleh manusia sendiri. Namun justru dengan alam kesadaran yang teramat bersahaja, Paris, Tarini, Wawan, Yadi, Dodi dan Siti, tanpa sengaja telah mendobrak kungkungan ideologis semacam itu, justru dengan kesaksian-kesaksian hidup penuh perjuangan membangun survival system dalam komunitas-komunitas basis kehidupan mereka.
Situasi batas daya kemampuan hidup yang mereka hayati demikian intens, berupa kepungan noda stigma sosial-politis nan keji, tersingkir, “sendiri tanpa dunia”, “ditinggalkan bahasa”, hidup dalam kebisuan, dalam dunia tanpa nada, tanpa nasib, tanpa hubungan, tanpa hak untuk mencinta dan dicinta. Sebuah rangkaian bunga hitam serba “tanpa”. Namun justru di tengah genangan dunia penuh negasi inilah secara amat menakjubkan telah merasakan, mengalami perpaduan penuh gaib antara ruang-ruang dalam dan ruang-ruang luar di dalam rongga jiwa mereka. Dalam suntuk ketidakberdayaannya, mereka telah mengalami suatu kesadaran reflektif: rindu pulang kembali ke negeri asali mereka. Mereka toh tak sudi untuk terus menerus menjadi “orang luar” yang terbuang. Sebagai pejiarah yang menanggung dahaga hebat, mereka rindu untuk kembali menemukan oase perdamaian air kehidupan nan jernih. Damai, bukan berarti rujuk lepas dari egoisme, menghindari pertarungan survival of the fittest dalam dunia jalanan, dunia perkampungan kumuh mereka, tapi dalam makna metafisik individual, dalam makna tanggung jawab penuh sikap solidaritas antar sesama manusia. Dan lahirlah sebuah kesadaran baru, paling tidak sebuah dambaan: anak-anak manusia yang paling sekular liar sekAali pun, ternyata dapat dan mampu menghayati serta memberikan kesaksian tentang makna kehidupan religius yang amat mendalam.


Disarikan dari kata pengantar buku “Kisah Perjuangan Anak Pinggiran 1997”

"P E M I N G G I R A N A N A K"

oleh : Hexa Rahmawati, Divisi Pendataan & Investigasi CILIWUNG MERDEKA


“Setiap anak berhak untuk dapat
hidup, tumbuh, berkembang,
dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”
(Undang-undang RI tentang Perlindungan Anak)

Anak, sebagai bagian dari masyarakat, sering kali menjadi obyek dari orang-orang dewasa yang berada di sekelilingnya. Keberadaan anak juga hampir selalu dikaitkan dengan “status” dan “kebanggaan” orang tuanya sehingga mereka sulit untuk tumbuh menjadi diri sendiri karena adanya batasan-batasan dari orang-orang dewasa dengan alasan demi kebaikan anak itu sendiri. Ukuran baik dan buruknya perilaku atau keputusan mereka ditentukan oleh orang dewasa, yang merasa lebih berpengalaman dalam menjalani hidup. Sebagian dari orang dewasa cenderung beranggapan bahwa karena mereka anak-anak maka tidak atau belum berpengalaman sehingga kemungkinan untuk berbuat salah dan tidak rasional masih besar, mereka belum dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk atau mana yang benar dan mana yang salah. Bahkan tidak jarang pendapat mereka pun diabaikan. Kebebasan anak untuk berekspresi dan berkembang pun menjadi terpasung, padahal mereka bisa menjadi subjek yang luar biasa, terutama karena keluguannya, dalam mengapresiasi kondisi sosial di sekelilingnya jika diberi kesempatan.

Hal ini juga terjadi pada anak-anak pinggiran. Mereka adalah anak-anak yang tercerabut dari dunia kanak-kanaknya akibat berbagai persoalan, diantaranya ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Perlindungan yang seharusnya mereka dapatkan baik dari orang tua, masyarakat umum, maupun negara, atas hak-hak mereka sebagai anak, sulit diperoleh. Bahkan tidak sedikit dari anak-anak ini yang mengalami perlakuan salah (termasuk tindak kekerasan) justru dari orang-orang dewasa terdekatnya yang seharusnya bisa menjadi pelindung utama bagi mereka. Sayangnya sering kali perlakuan salah ini tidak diungkap ke publik karena dianggap aib keluarga, meskipun itu mencederai jiwa anak yang menjadi korban maupun saksi dari kekerasan tersebut. Pelakunya pun dihukum ringan, tidak sebanding dengan efek yang ditimbulkan bagi kelangsungan kehidupan sosial korban maupun saksi. Bukan tidak mungkin anak yang telah menjadi korban atau saksi dari tindak kekerasan itu kemudian melakukan hal yang sama kepada orang lain. Departemen Sosial memperkirakan pada tahun 2005 saja telah terjadi kekerasan pada anak di Indonesia setiap 1-2 menit.

Pada tahun 2002, DPR RI mengesahkan Undang-undang tentang Perlindungan Anak, dimana didalamnya menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Namun sampai saat ini undang-undang tersebut masih belum mampu menurunkan angka kekerasan terhadap anak. Catatan kekerasan terhadap anak dari Komisi Nasional Perlindungan Anak justru semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu 6 bulan (Januari-Juni 2006) saja terdapat 415 kasus yang dilaporkan. Sedangkan kasus-kasus yang tak terungkap mungkin lebih banyak lagi.

Akibat kemiskinan yang semakin meluas di Indonesia, banyak anak-anak yang seharusnya bisa belajar dengan tenang, merasakan kehangatan keluarga, tinggal di rumah yang layak, punya kesempatan bermain, dan menikmati hari-harinya sebagai anak-anak terpaksa bekerja dan atau tinggal di jalanan. Jumlah anak jalanan di Jabodetabek saat ini, berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak (2006), mencapai angka 75.000. Di jalan, rata-rata mereka memiliki pengalaman buruk dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Penanganan yang dilakukan pemerintah pun lebih sering bersifat sementara dan dengan tindak kekerasan yang menimbulkan trauma. Pemda dan Satpol PP di Jakarta menggunakan Perda 11 tahun 1988 sebagai tameng dalam melakukan ”penegakan ketertiban umum” tersebut. Anak jalanan sering dianggap sebagai masalah tanpa akar yang dapat dipotong begitu saja dengan menangkap dan mengasingkan, istilah pemda “pembinaan”, tanpa menyentuh sumber masalahnya.
Perlakuan para penegak hukum yang tidak konsisten dan diskriminatif terhadap anak yang bermasalah dengan hukum merupakan persoalan yang diduga masih terjadi hingga saat ini. Hal ini terutama dilakukan terhadap anak-anak pinggiran karena mereka tidak mengerti hukum, tidak ada orang tua atau orang dewasa lainnya yang mendampingi, dan tidak mempunyai akses pada penasihat hukum. Meskipun dalam Undang-undang tentang Perlindungan Anak pasal 16 ayat 3 telah disebutkan bahwa penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Kehidupan anak-anak pinggiran ini di lingkungan masyarakat juga tidak jauh dari berbagai ancaman, termasuk kekerasan. Anak-anak yang dieksploitasi, dipekerjakan dalam lingkungan yang buruk, dan berbagai bentuk diskriminasi masih sangat sering dijumpai terutama di kota-kota besar dan dalam keluarga-keluarga miskin.

“Laporan Situasi Anak Dunia” tahun 2006 yang disusun oleh UNICEF menyatakan bahwa sekitar 60% anak balita di Indonesia tidak memiliki akta kelahiran, setengah diantaranya bahkan kelahirannya tidak tercatat dimanapun. Anak-anak yang tak tercatat kelahirannya tidak muncul dalam statistik resmi dan tidak diakui sebagai anggota masyarakat. Sehingga mereka tidak mendapatkan perlindungan dari negara sesuai dengan hak-haknya. Sampai saat ini, 4 hal pokok dalam Konvensi Hak-hak Anak maupun Undang-undang tentang Perlindungan Anak masih belum sepenuhnya mendapat perhatian pemerintah. Pertama adalah hak untuk hidup, dimana setiap anak di dunia berhak untuk mendapatkan akses atas pelayanan kesehatan dan menikmati standar hidup yang layak, termasuk makanan yang cukup, air bersih, dan tempat tinggal. Anak juga berhak memperoleh nama dan kewarganegaraan. Kedua adalah hak untuk tumbuh dan berkembang. Setiap anak berhak memperoleh kesempatan untuk mengembangkan potensinya semaksimal mungkin. Berhak memperoleh pendidikan baik formal maupun informal secara memadai. Ketiga, hak untuk memperoleh perlindungan. Setiap anak berhak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan seksual, kekerasan fisik atau mental, penangkapan atau penahanan yang sewenang-wenang, dan segala bentuk diskriminasi. Ini juga berlaku bagi anak yang tidak punya orangtua dan anak-anak yang berada di kamp pengungsian. Mereka berhak mendapat perlindungan. Keempat, hak untuk berpartisipasi. Setiap anak berhak untuk diberi kesempatan menyuarakan pandangan dan ide-idenya, terutama berbagai persoalan yang berkaitan dengan anak.

Pada tanggal 27 Januari 2006 Pemerintah Indonesia menandatangani piagam kerja sama lima tahun (2006-2010) dengan Badan PBB untuk anak, UNICEF. Kerjasama periode 2006-2010 ini meliputi tujuh program utama untuk meningkatkan martabat anak. Ketujuh program tersebut adalah kesehatan dan gizi, air dan sanitasi lingkungan, pendidikan, penanggulangan HIV/AIDS, perlindungan anak, komunikasi, dan monitoring dan evaluasi. UNICEF mengalokasikan bantuan sebesar 126,5 juta dollar AS (kurang lebih 1,2 triliun rupiah) bagi program-programnya di Indonesia. Tetapi hingga saat ini jumlah anak yang menderita busung lapar terus bertambah, sebagian dari mereka bahkan telah meninggal karena hanya mendapat perawatan seadanya, akibat kesulitan akses mendapat pelayanan kesehatan, dan kekurangan pangan meskipun pada tahun-tahun sebelumnya juga telah ada kerja sama serupa yang nilainya juga triliunan rupiah.

Di Indonesia, setiap menit 20 anak usia di bawah lima tahun meninggal. Dengan kata lain, 30.000 anak balita meninggal setiap hari dan 10,6 juta anak balita meninggal setiap tahun. Angka kematian anak balita mencapai 46 per 1000 kelahiran hidup pada kurun waktu 1998-2002 (Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2002/2003). Data dari Departemen Kesehatan menyebutkan pada tahun 2004 masalah gizi masih terjadi di 77,3 persen kabupaten dan 56 persen kota di Indonesia. Data tersebut juga menyebutkan bahwa pada tahun 2003 sebanyak lima juta anak balita (27,5 persen) kurang gizi dimana 3,5 juta (19,2 persen) diantaranya berada pada tingkat gizi kurang dan 1,5 juta (8,3 persen) sisanya mengalami gizi buruk. Sementara menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia tergolong sebagai negara dengan status kekurangan gizi yang tinggi pada tahun 2004 karena 5.119.935 balita dari 17.983.244 balita Indonesia (28,47 persen) termasuk kelompok gizi kurang dan gizi buruk. Kesehatan anak-anak semakin menurun, sedangkan biaya rumah sakit mahal. Mereka tidak bisa mendapat bantuan dari pemerintah karena terbentur administrasi, diantaranya tidak memiliki kartu identitas, baik si anak maupun orang tuanya.

Jumlah anak putus sekolah juga tidak berkurang, meskipun sejumlah sekolah membebaskan sumbangan pembangunan pendidikan (SPP) namun mereka masih dibebani oleh biaya ekstrakurikuler, seragam, dan perlengkapan sekolah lainnya. APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) tahun 2007 menyatakan, sektor pendidikan mendapatkan alokasi dana hanya sebesar 11,8 persen atau berkisar Rp. 90,10 triliun dari APBN Tahun 2007 yang senilai Rp. 763,6 triliun. Dari dana sebesar Rp 90,10 triliun ini, hanya sekitar 20% yang berhubungan langsung dengan pendidikan masyarakat, tidak termasuk pendidikan informal bagi anak-anak yang tidak memiliki akses pendidikan formal. Sedangkan 80% lainnya digunakan untuk gaji pegawai, perjalanan dinas, pembelian ATK dll. Sungguh ironis mengingat semakin rendahnya jumlah anak yang bisa mendapatkan pendidikan secara layak. Hal ini juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Anak sepertinya dianggap sebagai warga negara nomor sekian, sehingga kepentingannya boleh diabaikan.

Angka perdagangan anak juga semakin mengkhawatirkan. Meskipun pada tahun 2004 di Vientiane, Laos, Kepala Pemerintahan dari 10 (sepuluh) negara ASEAN, termasuk Indonesia, telah menandatangani kesepakatan yang antara lain menyatakan tekad ASEAN untuk memerangi segala bentuk perdagangan dan eksploitasi seksual dan komersial terhadap perempuan dan anak. Adapun yang dimaksud dengan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) termasuk: prostitusi anak, pornografi anak, pelecehan seksual terhadap anak (paedofilia), dan perdagangan anak. Seksual komersial anak, terutama berlangsung melalui jalur-jalur dan di lingkungan pariwisata. Padahal bagi Indonesia, pariwisata merupakan sektor kegiatan berorientasi ekspor yang memberikan sumbangan devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas (migas). Bahkan sampai saat ini promosi pariwisata gencar dilakukan baik oleh pemerintah maupun pihak swasta, namun mereka lupa untuk melakukan tindakan pencegahan terhadap kemungkinan semakin berkembangnya kegiatan prostitusi, pornografi, dan perdagangan manusia, termasuk menjadikan anak sebagai komoditi dalam kegiatan-kegiatan tersebut.

Pemetaan yang dilakukan UNICEF pada tahun 1998-1999 menunjukkan bahwa 30% dari pekerja seks komersial di Indonesia berumur kurang dari 18 tahun, bahkan ada yang baru berumur 10 tahun. Diperkirakan 40.000-70.000 anak Indonesia telah menjadi korban ESKA. Meskipun demikian angka ini diragukan karena diduga masih banyak yang tidak terdata, karena kegiatan ESKA sangat tertutup. Mayoritas mereka telah dipaksa bekerja dalam perdagangan seks oleh orang-orang dewasa disekitarnya, termasuk orang tuanya sendiri, dan telah terjadi peningkatan perdagangan anak baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. ESKA berlangsung terutama di pusat-pusat prostitusi, tempat hiburan, karaoke, massage, mall dll. Mayoritas pelaku (user) adalah penduduk lokal sendiri atau pengunjung domestik.

Dari data-data di atas jelas terlihat masih rendahnya upaya-upaya perlindungan bagi anak yang dilakukan oleh pemerintah. Sementara masyarakat umum melihatnya sebagai fenomena kehidupan yang akan selalu hadir akibat dari persaingan hidup dan ketidakmampuan kepala keluarga dalam memberikan kesejahteraan bagi anggota keluarga, termasuk anak-anaknya. Dan yang lebih berbahaya adalah menganggap kejadian-kejadian tersebut sebagai sesuatu yang biasa, karena terlalu seringnya terjadi, terlihat, atau terdengar oleh kita. Pemenuhan hak-hak anak sebagaimana yang telah tertuang dalam berbagai kesepakatan internasional maupun peraturan perundang-undangan memang bukan perkara yang mudah dan sederhana. Namun bukan berarti hal tersebut tidak bisa dilakukan. Sebagian masyarakat (orang dewasa) hanya masih belum menyadari bahwa dikemudian hari anak-anak inilah yang akan menjadi orang dewasa dan menggantikan posisi mereka. Perlakuan yang diterima dimasa anak-anak secara signifikan akan berdampak pada diri anak-anak ketika mereka menjadi orang dewasa dalam menyikapi berbagai persoalan yang dihadapi, termasuk dalam hal memberikan perlindungan bagi anak-anak yang akan terlahir berikutnya. Dan kekhawatiran kita adalah bahwa kondisi ini akan menjadi mata rantai yang tak pernah putus, akan ada pengulangan kesalahan yang sama.

Rekomendasi
Berbagai kegiatan telah dilakukan oleh komunitas-komunitas anak pinggiran untuk mengangkat persoalan anak pinggiran ke dalam wacana yang lebih luas, namun belum banyak membuahkan hasil. Hal ini dikarenakan sedikitnya orang yang peduli terhadap kondisi anak-anak tersebut atau tidak tahu bagaimana caranya untuk membantu. Beberapa hal sederhana bisa dilakukan, sebagai permulaan, baik oleh perorangan maupun bersama-sama mengangkat kesejahteraan dan memenuhi hak-hak mereka sebagai anak. Misalnya menyediakan ruang dan kesempatan bagi anak-anak pinggiran untuk mengekspresikan apresiasi mereka terhadap lingkungan sekitarnya. Tidak menjadikan mereka takut, dengan tidak menghakimi atau memberi stigma buruk pada mereka, untuk melakukan sesuatu yang sebetulnya tidak merugikan orang lain, bahkan mungkin itu bentuk kepedulian mereka terhadap sesama. Pemerintah dan masyarakat juga dapat meningkatkan perannya lebih jauh dengan melakukan beberapa hal, diantaranya:
1. Memberikan pemahaman pada anak-anak mengenai hak-hak mereka.
2. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan hak-hak anak; bisa dilakukan melalui berbagai

media.
3. Meningkatkan pemahaman penegak hukum mengenai hak-hak anak.
4. Meningkatkan profesionalisme penegak hukum dalam melindungi dan melayani hak-hak anak.
5. Meningkatkan peran lembaga-lembaga negara dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada dalam

menegakkan hak-hak anak dan memberi perlindungan yang maksimal.










Suara dari Sanggar Rumah KITA

oleh : Eny Setyaningsih, Gerbong Rakyat - Sanggar Rumah KITA

Salam solidaritas !

Adalah sebuah kehormatan bagi kami, Gerbong Rakyat dan Rumah KITA, mewakili komunitas anak pinggiran dalam pembukaan Festival Budaya Anak Pinggiran; Ekspresi Anak Pinggiran, Perjuangan Melawan Keterbatasan. Terima kasih dan penghargaan yang tulus kami sampaikan kepada Sanggar Ciliwung yang telah memberanikan diri untuk mengumpulkan kembali komunitas-komunitas anak pinggiran yang terserak dalam kerja-kerjanya masing-masing di wilayah Jabodetabek. Salam hangat dan jabat erat kami sampaikan untuk kawan-kawan komunitas anak pinggiran yang hadir dan berperan serta dalam festival ini.Anak Pinggiran dan keterbatasan adalah dua hal yang menyatu seperti sol dan sepatu. Anak-anak pinggiran yang berwajah anak jalanan, anak miskin perkotaan, anak miskin pedesaan, anak yang dipekerjakan, anak korban eksploitasi seksual, anak yang diperdagangkan, anak korban konflik, dan anak-anak dengan kemampuan berbeda secara nyata ada dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Tetapi kehadirannya selalu disangkal, dianggap sampah, dan yang lebih parah dicap sebagai penyakit sosial yang harus dimusnahkan. Penyangkalan ini mewujud pada berbagai usaha untuk mengusir, menggusur, dan membatasi akses mereka atas penghidupan layak, pendidikan, kesehatan, rasa aman, kebebasan berpendapat dan berkumpul. Hal-hal yang seharusnya didapatkan oleh setiap anak di belahan bumi manapun karena itu adalah hak yang melekat.Mereka tidak meminta dilahirkan demikian. Mereka lahir dari rahim kemiskinan. Mereka adalah ampas pembangunan-isme yang telah membius Indonesia dan banyak negara dunia ketiga selama berpuluh tahun. Tetapi selalu saja anak-anak pinggiran dipersalahkan, dianggap malas, nakal, dan mengganggu ketertiban. Tidak ada usaha tulus untuk merangkul mereka keluar dari keterbatasan. Yang ada hanya proyek-proyek yang dikerjakan setengah hati. Keterbatasan dan keterpinggiran bukanlah takdir dan nasib yang datang begitu saja. Keterbatasan dan keterpinggiran adalah akibat budaya global dan struktur pembangunan yang tidak adil dan memiskinkan. Keterbatasan dan keterpinggiran hanya bisa diselesaikan dengan merombak cara pandang dan struktur yang lebih adil untuk semua orang.

Saat ini, kita tidak bisa berharap keadilan tersaji seketika di depan mata. Hak harus dituntut, kesempatan harus direbut, bukan dengan kekerasan tapi dengan cara yang bermartabat. Festival Budaya Anak Pinggiran menjadi pembuktian bahwa anak-anak pinggiran adalah manusia-manusia cerdas, kreatif, dan penuh potensi yang siap memimpin Indonesia menjadi bangsa merdeka dan bermartabat. Festival ini bukan perayaan hura-hura tanpa makna tetapi menjadi langkah awal bagi komunitas anak pinggiran untuk bergandeng tangan dan merapatkan barisan merebut hak yang telah sekian lama terenggut.

Mari kita eratkan buhul solidaritas yang kembali terjalin, dan JAYALAH ANAK PINGGIRAN INDONESIA!






Yang Kecil, Yang Berbahagia

oleh : B. Stephanie Iriana Pasaribu

Ketika pertama berjumpa dengan anak-anak pinggiran di bantaran kali Sungai Ciliwung, saya membawa ‘label’ bahwa mereka adalah anak-anak yang kurang bahagia: bahwa mereka pasti merasa ‘dunia’ mereka terkoyak-koyak tanpa harapan, bahwa mereka pasti merasa hidupnya tidak bermakna, dan memiliki perasaan kosong yang mendalam dalam dirinya. Namun, anak-anak yang saya temui itu ternyata jauh berbeda dari gambaran tersebut, mereka tidak mengekspresikan perasaan-perasaan itu. Sebaliknya, mereka sangat bahagia, bersemangat untuk belajar hal-hal baru, dan menikmati setiap apa yang mereka miliki sepenuh hati. ‘Temuan’ pertama saya tentang mereka kemudian membuka horizon yang baru dan menantang saya untuk tidak begitu saja percaya akan stigma-stigma negatif tentang mereka.

Dengan berinteraksi bersama mereka, saya belajar tentang kompleksitas menjadi seorang anak: bahwa menjadi anak tidaklah mudah. Mereka tidak secara otomatis bebas dari tanggungjawab-tanggungjawab yang besar (tanggungjawab atas diri orang lain), mereka tidak melulu mengisi waktu mereka dengan bermain dan belajar, yang secara umum dipandang sebagai aktivitas utama anak-anak. Namun kenyataannya, seringkali mereka harus memainkan peran sebagai orang dewasa yang seharusnya mampu mengatur dirinya sendiri, yang mampu mengambil keputusan dengan cepat dan tepat, atau pun yang mampu mengetahui dan mengekspresikan apa yang mereka inginkan dan rasakan dengan jelas.

Anak-anak pinggiran, menurut saya adalah anak-anak yang istimewa. Meskipun mereka ‘terperangkap’ dalam situasi yang penuh beban dan keterbatasan namun respon mereka tidaklah kekanak-kanakan, dan itu sangat mengagumkan. Dengan segala karakteristik mereka yang mempesona dan juga melelahkan, mereka menunjukkan resiliency yang luar biasa: kemenangan atas segala kemalangan.

Hidup dalam situasi yang penuh dengan keterbatasan, namun disertai sikap yang penuh harapan dan rasa syukur adalah hal utama yang saya pelajari dari anak-anak pinggiran. Kemampuan mereka untuk menemukan kesempatan dari sesuatu yang tampaknya mustahil, untuk menikmati apa yang ada dengan hati yang riang, senantiasa melahirkan suatu harapan.

Festival Budaya dan Temu Rasa Anak Pinggiran ini adalah pesta untuk mereka. Pesta besar untuk merayakan kemerdekaan dan keberanian mereka menempuh hidup yang penuh himpitan dan ketidakpastian, namun tetap dijalani dengan penuh harapan dan rasa syukur. Dengan segala kemampuan itu, pantaslah jika kita mengatakan: yang kecil, yang berbahagia!

Selamat berpesta teman-teman, selamat berpesta! You really deserve it!