Friday, July 20, 2007

Pekikan Hak "Anak-anak Pinggiran"

oleh : F. Budi Hardiman - pengajar Pasca Sarjana STF Driyarkara

Mereka ada diantara kita. Raut wajah mereka tampak di persimpangan, di pabrik, di dalam angkutan umum, di perkebunan, di dekat timbunan sampah. Kita melihat mereka, mengeluhkan keberadaan mereka, merasa kasihan, namun tak seorang pun mendengarkan mereka. Jumlah mereka banyak, dan bersamaan dengan laju pertambahan gedung, mal, ITC, real-estate, dst dalam metropolis Jakarta ini, jumlah mereka juga bertambah. Menjadi banyak berarti menjadi rutin juga, maka modus melihat seperti melihat lalat, yakni melihat serentak mengabaikan, yang mereka terima merupakan cermin bagaimana mereka ditempatkan dalam masyarakat. Mereka sadar itu, maka mereka menyebut diri "anak pinggiran". Sebagian adalah anak-anak jalanan, pengamen, joki three-in-one, pemulung cilik, pengasong dalam usia antara 5-17 tahun. Sebagian lain bekerja sebagai buruh pabrik. Di dalam perjuangan survival of the fittest di belantara ekonomi metropolis Jakarta, mereka adalah korban. Dan wajah korban itu makin jelas manakala placelessness mereka dipentaskan dalam kebijakan penggusuran, pembakaran dan penelantaran pemukiman-pemukiman mereka.

Eksistensi sosial mereka dijelaskan oleh Georg Simmel sebagai fenomena ruang; Mereka itu dekat dengan kita, namun kedekatan itu berarti juga suatu kejauhan, sebab keberlainan mereka berarti bahwa yang jauh itu dekat juga. Mereka tidak sungguh-sungguh diluar kita, seperti misalnya makhluk dari bintang Sirius, sebab mereka adalah salah satu dari kita, pemukim metropolis ini. Namun pertarungan a la Darwinisme ekonomis yang melanda metropolis ini membuat mereka tidak sungguh-sungguh di dalam kita. Para pemenang telah mengeksklusikan mereka dari kelompok. Pertama, mereka adalah anak-anak, dan anak-anak dipandang tidak berhak bersuara dalam masyarakat orang dewasa. Kedua, mereka melarat, dan yang melarat ini juga dianggap tidak memiliki andil dalam masyarakat. Posisi di luar sekaligus di dalam itulah yang secara spasial diungkapkan dalam istilah "pinggiran".

Cermin Krisis Solidaritas
Berada di pinggiran tidak hanya berarti berada dalam keterbatasan, seperti terungkap dalam kata 'miskin', melainkan juga berarti menjadi batas cakrawala masyarakat itu sendiri, sebab seperti dipikirkan dalam teori sistem Niklas Luhmann- yang berada di pinggiran itulah yang memungkinkan perbedaan antara masyarakat dan bukan-masyarakat. Eksistensi sosial mereka adalah identity maker sebuah masyarakat, seperti sebuah garis yang memberi bentuk, maka perlakuan atau pengabaian terhadap mereka merupakan cermin taraf keadaban masyarakat tempat mereka dipinggirkan. Kota-kota yang menyambut mereka sebagai bagian dari masyarakat telah berhasil pula mengatasi problem integrasi sosialnya, sebab anak-anak pinggiran adalah bagian naratif yang paling kelam dari identitas kota yang retak oleh pertarungan kepentinga. Ideologi-ideologi memakai kondisi mereka sebagai bahan demagogi. Pragmatisme pasar tak menghitung kegunaan mereka.Dapat dikatakan bahwa keterlantaran mereka adalah cermin krisis solidaritas dan sivilitas kota. Sebagaimana keretakan sebuah keluarga ditandai dengan keterlantaran anak-anaknya, sebuah manajemen kota yang gagal untuk memobilisasi sikap-sikap dan tindakan-tindakan beradab warganya tercermin juga dalam marginalisasi segmen yang paling lemah dan tak terlindung di dalam kota itu, yakni anak-anak miskin yang menjadi korban kekerasan kota dan keluarga mereka. Pasar, birokrasi dan budaya metropolis tanpa ampun telah melibas anak-anak ini dan merampas hak-hak mereka sebagai anak. Kilasan wajah cilik di jalan, di pabrik, di gundukan sampah itu enggan kita tatap karena tatapan kita akan segera berbalik menjadi gugatan atas sikap apatis kita, apatisme yang telah lama sekali dilegitimasikan lewat sebuah stigmatisasi atas mereka sebagai parasit-parasit kota. Jika yang terstigma ini 'korban', siapa atau apakah 'pelaku'nya ? Rentetan jawaban diberikan: negara, pasar, masyarakat, struktur, keluarga...ad infinitum sampai kita tak menemukan apa-apa dan siapa-siapa. Akan tetapi anak-anak yang dunia bermainnya telah terampas dan terdesak memikul tanggungjawab hidup itu tidak menyerah sebagai korban. Mereka bangkit menolong diri mereka sendiri. Ketika datang menengok Festival Budaya Anak Pinggiran Merdeka se-Jabodetabek 13-15 Juli 2007 yang lalu, orang akan terkesima. Anak-anak ini tidak memohon belas kasihan orang-orang dewasa. Anak-anak ini jauh dari kecengengan dan kemanjaan seperti yang lazim kita jumpai dalam keluarga-keluarga 'borjuis kota'. Mereka menuntut hak-hak mereka yang telah diabaikan tanpa malu oleh orang-orang dewasa. Mereka bernarasi tentang bagaimana mereka menolong diri untuk melawan keterbatasan mereka sendiri. Kepakan rajawali yang terluka memang tidak tinggi, namun tetap lebih gagah daripada kepakan ayam sehat, karena rajawali menurut kodratnya enggan melekat di atas tanah.

Segmen Lemah Ruang Publik
"Setiap anak," begitu kata Undang-undang Perlindungan Anak, 'berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi". Bunyi undang-undang yang dirancang orang dewasa itu menghibur mereka. Realisasi hak-hak yang tercantum didalamnya mereka tuntut. Suara kanak-kanak merka tak mampu menyembunyikan ketegasanh ati mereka. Satu hal mereka tahu: Mereka adalah korban, karena orang-orang dewasa yang ikut mengendalikan pasar, negara, masyarakat, struktur, keluarga...ad infinitum itu mengabaikan hak-hak mereka. Dan hak bukanlah suatu pemberian atau efek belas kasihan orang lain, melainkan sesuatu yang dapat dituntutkan kepada orang lain. Karena itu mereka tidak mengemis hak; mereka menuntut. Dan karena dalam setiap hak itu melekat kewajiban pihak yang dituntut, si penuntut, yakni anak-anak ini, berhak untuk mendapatkan respek dari orang lain dalam tuntutan mereka.Berbicara hak seperti dilakukan anak-anak pinggiran ini tak lain daripada suatu tuntutan untuk bernegosiasi tentang nasib mereka. Namun mereka tak punya wakil di parlemen, tak memiliki wadah ekspresi di ruang publik dan keluarga mereka yang hancur oleh cekikan ekonomi sudah lama tidak mau memahami mereka. Anak-anak pinggiran, seperti juga kaum minoritas, para penyandang cacat, kaum manula, dst...adalah segmen paling lemah dalam ruang publik negara hukum. Status kanak-kanak dan stigma kemiskinan yang menjadi emblem mereka menyulitkan mereka bernegosiasi dengan orang-orang dewasa di dalam pemerintahan yang terlalu digundahkan oleh masalah-masalah kekuasaan dan saku mereka sendiri.Jika politik tidak dimengerti secara Machiavellian sebagai manipulasi strategis, melainkan secara Aristotelian sebagai penggalangan civic friendship, apa yang dilakukan anak-anak pinggiran dihadapan patung proklamator RI itu adalah 'politik' dalam artinya yang otentik. Komunitas pemberdayaan sebagaimana dipraktikkan oleh Gerakan Ciliwung Merdeka binaan Sandyawan Sumardi itu merupakan salah satu cara bagaimana menggugah kesadaran civil society pada segmennya yang paling fundamental. Lebih dari 2000 anak dari 39 komunitas berhimpun mewakili ribuan lainnya yang terserak di jalan-jalan di berbagai kota besar yang menjadi korban gilasan pasar, birokrasi dan kekerasan orang-orang dewasa. Mereka tidak bungkam. Mereka memekikkan hak-hak mereka dan bernarasi tentang pengalaman-pengalaman negatif mereka lewat tuturan, lukisan, pertunjukan. Itu sudah cukup nyaring untuk ruang publik politis, seandainya negara hukum berfungsi baik.

No comments: