Wednesday, July 18, 2007

"P E M I N G G I R A N A N A K"

oleh : Hexa Rahmawati, Divisi Pendataan & Investigasi CILIWUNG MERDEKA


“Setiap anak berhak untuk dapat
hidup, tumbuh, berkembang,
dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”
(Undang-undang RI tentang Perlindungan Anak)

Anak, sebagai bagian dari masyarakat, sering kali menjadi obyek dari orang-orang dewasa yang berada di sekelilingnya. Keberadaan anak juga hampir selalu dikaitkan dengan “status” dan “kebanggaan” orang tuanya sehingga mereka sulit untuk tumbuh menjadi diri sendiri karena adanya batasan-batasan dari orang-orang dewasa dengan alasan demi kebaikan anak itu sendiri. Ukuran baik dan buruknya perilaku atau keputusan mereka ditentukan oleh orang dewasa, yang merasa lebih berpengalaman dalam menjalani hidup. Sebagian dari orang dewasa cenderung beranggapan bahwa karena mereka anak-anak maka tidak atau belum berpengalaman sehingga kemungkinan untuk berbuat salah dan tidak rasional masih besar, mereka belum dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk atau mana yang benar dan mana yang salah. Bahkan tidak jarang pendapat mereka pun diabaikan. Kebebasan anak untuk berekspresi dan berkembang pun menjadi terpasung, padahal mereka bisa menjadi subjek yang luar biasa, terutama karena keluguannya, dalam mengapresiasi kondisi sosial di sekelilingnya jika diberi kesempatan.

Hal ini juga terjadi pada anak-anak pinggiran. Mereka adalah anak-anak yang tercerabut dari dunia kanak-kanaknya akibat berbagai persoalan, diantaranya ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Perlindungan yang seharusnya mereka dapatkan baik dari orang tua, masyarakat umum, maupun negara, atas hak-hak mereka sebagai anak, sulit diperoleh. Bahkan tidak sedikit dari anak-anak ini yang mengalami perlakuan salah (termasuk tindak kekerasan) justru dari orang-orang dewasa terdekatnya yang seharusnya bisa menjadi pelindung utama bagi mereka. Sayangnya sering kali perlakuan salah ini tidak diungkap ke publik karena dianggap aib keluarga, meskipun itu mencederai jiwa anak yang menjadi korban maupun saksi dari kekerasan tersebut. Pelakunya pun dihukum ringan, tidak sebanding dengan efek yang ditimbulkan bagi kelangsungan kehidupan sosial korban maupun saksi. Bukan tidak mungkin anak yang telah menjadi korban atau saksi dari tindak kekerasan itu kemudian melakukan hal yang sama kepada orang lain. Departemen Sosial memperkirakan pada tahun 2005 saja telah terjadi kekerasan pada anak di Indonesia setiap 1-2 menit.

Pada tahun 2002, DPR RI mengesahkan Undang-undang tentang Perlindungan Anak, dimana didalamnya menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Namun sampai saat ini undang-undang tersebut masih belum mampu menurunkan angka kekerasan terhadap anak. Catatan kekerasan terhadap anak dari Komisi Nasional Perlindungan Anak justru semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu 6 bulan (Januari-Juni 2006) saja terdapat 415 kasus yang dilaporkan. Sedangkan kasus-kasus yang tak terungkap mungkin lebih banyak lagi.

Akibat kemiskinan yang semakin meluas di Indonesia, banyak anak-anak yang seharusnya bisa belajar dengan tenang, merasakan kehangatan keluarga, tinggal di rumah yang layak, punya kesempatan bermain, dan menikmati hari-harinya sebagai anak-anak terpaksa bekerja dan atau tinggal di jalanan. Jumlah anak jalanan di Jabodetabek saat ini, berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak (2006), mencapai angka 75.000. Di jalan, rata-rata mereka memiliki pengalaman buruk dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Penanganan yang dilakukan pemerintah pun lebih sering bersifat sementara dan dengan tindak kekerasan yang menimbulkan trauma. Pemda dan Satpol PP di Jakarta menggunakan Perda 11 tahun 1988 sebagai tameng dalam melakukan ”penegakan ketertiban umum” tersebut. Anak jalanan sering dianggap sebagai masalah tanpa akar yang dapat dipotong begitu saja dengan menangkap dan mengasingkan, istilah pemda “pembinaan”, tanpa menyentuh sumber masalahnya.
Perlakuan para penegak hukum yang tidak konsisten dan diskriminatif terhadap anak yang bermasalah dengan hukum merupakan persoalan yang diduga masih terjadi hingga saat ini. Hal ini terutama dilakukan terhadap anak-anak pinggiran karena mereka tidak mengerti hukum, tidak ada orang tua atau orang dewasa lainnya yang mendampingi, dan tidak mempunyai akses pada penasihat hukum. Meskipun dalam Undang-undang tentang Perlindungan Anak pasal 16 ayat 3 telah disebutkan bahwa penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Kehidupan anak-anak pinggiran ini di lingkungan masyarakat juga tidak jauh dari berbagai ancaman, termasuk kekerasan. Anak-anak yang dieksploitasi, dipekerjakan dalam lingkungan yang buruk, dan berbagai bentuk diskriminasi masih sangat sering dijumpai terutama di kota-kota besar dan dalam keluarga-keluarga miskin.

“Laporan Situasi Anak Dunia” tahun 2006 yang disusun oleh UNICEF menyatakan bahwa sekitar 60% anak balita di Indonesia tidak memiliki akta kelahiran, setengah diantaranya bahkan kelahirannya tidak tercatat dimanapun. Anak-anak yang tak tercatat kelahirannya tidak muncul dalam statistik resmi dan tidak diakui sebagai anggota masyarakat. Sehingga mereka tidak mendapatkan perlindungan dari negara sesuai dengan hak-haknya. Sampai saat ini, 4 hal pokok dalam Konvensi Hak-hak Anak maupun Undang-undang tentang Perlindungan Anak masih belum sepenuhnya mendapat perhatian pemerintah. Pertama adalah hak untuk hidup, dimana setiap anak di dunia berhak untuk mendapatkan akses atas pelayanan kesehatan dan menikmati standar hidup yang layak, termasuk makanan yang cukup, air bersih, dan tempat tinggal. Anak juga berhak memperoleh nama dan kewarganegaraan. Kedua adalah hak untuk tumbuh dan berkembang. Setiap anak berhak memperoleh kesempatan untuk mengembangkan potensinya semaksimal mungkin. Berhak memperoleh pendidikan baik formal maupun informal secara memadai. Ketiga, hak untuk memperoleh perlindungan. Setiap anak berhak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan seksual, kekerasan fisik atau mental, penangkapan atau penahanan yang sewenang-wenang, dan segala bentuk diskriminasi. Ini juga berlaku bagi anak yang tidak punya orangtua dan anak-anak yang berada di kamp pengungsian. Mereka berhak mendapat perlindungan. Keempat, hak untuk berpartisipasi. Setiap anak berhak untuk diberi kesempatan menyuarakan pandangan dan ide-idenya, terutama berbagai persoalan yang berkaitan dengan anak.

Pada tanggal 27 Januari 2006 Pemerintah Indonesia menandatangani piagam kerja sama lima tahun (2006-2010) dengan Badan PBB untuk anak, UNICEF. Kerjasama periode 2006-2010 ini meliputi tujuh program utama untuk meningkatkan martabat anak. Ketujuh program tersebut adalah kesehatan dan gizi, air dan sanitasi lingkungan, pendidikan, penanggulangan HIV/AIDS, perlindungan anak, komunikasi, dan monitoring dan evaluasi. UNICEF mengalokasikan bantuan sebesar 126,5 juta dollar AS (kurang lebih 1,2 triliun rupiah) bagi program-programnya di Indonesia. Tetapi hingga saat ini jumlah anak yang menderita busung lapar terus bertambah, sebagian dari mereka bahkan telah meninggal karena hanya mendapat perawatan seadanya, akibat kesulitan akses mendapat pelayanan kesehatan, dan kekurangan pangan meskipun pada tahun-tahun sebelumnya juga telah ada kerja sama serupa yang nilainya juga triliunan rupiah.

Di Indonesia, setiap menit 20 anak usia di bawah lima tahun meninggal. Dengan kata lain, 30.000 anak balita meninggal setiap hari dan 10,6 juta anak balita meninggal setiap tahun. Angka kematian anak balita mencapai 46 per 1000 kelahiran hidup pada kurun waktu 1998-2002 (Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2002/2003). Data dari Departemen Kesehatan menyebutkan pada tahun 2004 masalah gizi masih terjadi di 77,3 persen kabupaten dan 56 persen kota di Indonesia. Data tersebut juga menyebutkan bahwa pada tahun 2003 sebanyak lima juta anak balita (27,5 persen) kurang gizi dimana 3,5 juta (19,2 persen) diantaranya berada pada tingkat gizi kurang dan 1,5 juta (8,3 persen) sisanya mengalami gizi buruk. Sementara menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia tergolong sebagai negara dengan status kekurangan gizi yang tinggi pada tahun 2004 karena 5.119.935 balita dari 17.983.244 balita Indonesia (28,47 persen) termasuk kelompok gizi kurang dan gizi buruk. Kesehatan anak-anak semakin menurun, sedangkan biaya rumah sakit mahal. Mereka tidak bisa mendapat bantuan dari pemerintah karena terbentur administrasi, diantaranya tidak memiliki kartu identitas, baik si anak maupun orang tuanya.

Jumlah anak putus sekolah juga tidak berkurang, meskipun sejumlah sekolah membebaskan sumbangan pembangunan pendidikan (SPP) namun mereka masih dibebani oleh biaya ekstrakurikuler, seragam, dan perlengkapan sekolah lainnya. APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) tahun 2007 menyatakan, sektor pendidikan mendapatkan alokasi dana hanya sebesar 11,8 persen atau berkisar Rp. 90,10 triliun dari APBN Tahun 2007 yang senilai Rp. 763,6 triliun. Dari dana sebesar Rp 90,10 triliun ini, hanya sekitar 20% yang berhubungan langsung dengan pendidikan masyarakat, tidak termasuk pendidikan informal bagi anak-anak yang tidak memiliki akses pendidikan formal. Sedangkan 80% lainnya digunakan untuk gaji pegawai, perjalanan dinas, pembelian ATK dll. Sungguh ironis mengingat semakin rendahnya jumlah anak yang bisa mendapatkan pendidikan secara layak. Hal ini juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Anak sepertinya dianggap sebagai warga negara nomor sekian, sehingga kepentingannya boleh diabaikan.

Angka perdagangan anak juga semakin mengkhawatirkan. Meskipun pada tahun 2004 di Vientiane, Laos, Kepala Pemerintahan dari 10 (sepuluh) negara ASEAN, termasuk Indonesia, telah menandatangani kesepakatan yang antara lain menyatakan tekad ASEAN untuk memerangi segala bentuk perdagangan dan eksploitasi seksual dan komersial terhadap perempuan dan anak. Adapun yang dimaksud dengan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) termasuk: prostitusi anak, pornografi anak, pelecehan seksual terhadap anak (paedofilia), dan perdagangan anak. Seksual komersial anak, terutama berlangsung melalui jalur-jalur dan di lingkungan pariwisata. Padahal bagi Indonesia, pariwisata merupakan sektor kegiatan berorientasi ekspor yang memberikan sumbangan devisa terbesar kedua setelah minyak dan gas (migas). Bahkan sampai saat ini promosi pariwisata gencar dilakukan baik oleh pemerintah maupun pihak swasta, namun mereka lupa untuk melakukan tindakan pencegahan terhadap kemungkinan semakin berkembangnya kegiatan prostitusi, pornografi, dan perdagangan manusia, termasuk menjadikan anak sebagai komoditi dalam kegiatan-kegiatan tersebut.

Pemetaan yang dilakukan UNICEF pada tahun 1998-1999 menunjukkan bahwa 30% dari pekerja seks komersial di Indonesia berumur kurang dari 18 tahun, bahkan ada yang baru berumur 10 tahun. Diperkirakan 40.000-70.000 anak Indonesia telah menjadi korban ESKA. Meskipun demikian angka ini diragukan karena diduga masih banyak yang tidak terdata, karena kegiatan ESKA sangat tertutup. Mayoritas mereka telah dipaksa bekerja dalam perdagangan seks oleh orang-orang dewasa disekitarnya, termasuk orang tuanya sendiri, dan telah terjadi peningkatan perdagangan anak baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. ESKA berlangsung terutama di pusat-pusat prostitusi, tempat hiburan, karaoke, massage, mall dll. Mayoritas pelaku (user) adalah penduduk lokal sendiri atau pengunjung domestik.

Dari data-data di atas jelas terlihat masih rendahnya upaya-upaya perlindungan bagi anak yang dilakukan oleh pemerintah. Sementara masyarakat umum melihatnya sebagai fenomena kehidupan yang akan selalu hadir akibat dari persaingan hidup dan ketidakmampuan kepala keluarga dalam memberikan kesejahteraan bagi anggota keluarga, termasuk anak-anaknya. Dan yang lebih berbahaya adalah menganggap kejadian-kejadian tersebut sebagai sesuatu yang biasa, karena terlalu seringnya terjadi, terlihat, atau terdengar oleh kita. Pemenuhan hak-hak anak sebagaimana yang telah tertuang dalam berbagai kesepakatan internasional maupun peraturan perundang-undangan memang bukan perkara yang mudah dan sederhana. Namun bukan berarti hal tersebut tidak bisa dilakukan. Sebagian masyarakat (orang dewasa) hanya masih belum menyadari bahwa dikemudian hari anak-anak inilah yang akan menjadi orang dewasa dan menggantikan posisi mereka. Perlakuan yang diterima dimasa anak-anak secara signifikan akan berdampak pada diri anak-anak ketika mereka menjadi orang dewasa dalam menyikapi berbagai persoalan yang dihadapi, termasuk dalam hal memberikan perlindungan bagi anak-anak yang akan terlahir berikutnya. Dan kekhawatiran kita adalah bahwa kondisi ini akan menjadi mata rantai yang tak pernah putus, akan ada pengulangan kesalahan yang sama.

Rekomendasi
Berbagai kegiatan telah dilakukan oleh komunitas-komunitas anak pinggiran untuk mengangkat persoalan anak pinggiran ke dalam wacana yang lebih luas, namun belum banyak membuahkan hasil. Hal ini dikarenakan sedikitnya orang yang peduli terhadap kondisi anak-anak tersebut atau tidak tahu bagaimana caranya untuk membantu. Beberapa hal sederhana bisa dilakukan, sebagai permulaan, baik oleh perorangan maupun bersama-sama mengangkat kesejahteraan dan memenuhi hak-hak mereka sebagai anak. Misalnya menyediakan ruang dan kesempatan bagi anak-anak pinggiran untuk mengekspresikan apresiasi mereka terhadap lingkungan sekitarnya. Tidak menjadikan mereka takut, dengan tidak menghakimi atau memberi stigma buruk pada mereka, untuk melakukan sesuatu yang sebetulnya tidak merugikan orang lain, bahkan mungkin itu bentuk kepedulian mereka terhadap sesama. Pemerintah dan masyarakat juga dapat meningkatkan perannya lebih jauh dengan melakukan beberapa hal, diantaranya:
1. Memberikan pemahaman pada anak-anak mengenai hak-hak mereka.
2. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan hak-hak anak; bisa dilakukan melalui berbagai

media.
3. Meningkatkan pemahaman penegak hukum mengenai hak-hak anak.
4. Meningkatkan profesionalisme penegak hukum dalam melindungi dan melayani hak-hak anak.
5. Meningkatkan peran lembaga-lembaga negara dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada dalam

menegakkan hak-hak anak dan memberi perlindungan yang maksimal.










No comments: